Ulasan Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Karya Dian Purnomo

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo menjadi buku keempat yang saya selesaikan bulan ini dan secara keseluruhan, buku ini berhasil mengaduk-aduk emosi saya. Bercerita tentang Magi Diela yang diculik dan dijinakkan untuk dipaksa menikah dengan mengatasnamakan adat kawin tangkap di Sumba, buku ini memaparkan betapa pentingnya mengevaluasi tradisi apa saja yang perlu dilestarikan dan mana yang tidak.

Trigger warning: Buku ini mengandung adegan kekerasan, upaya bunuh diri, dan pemerkosaan yang cukup eksplisit.


Magi Diela adalah seorang lulusan universitas di Yogyakarta, pulang ke kampung halamannya dengan membawa mimpi untuk memajukan Sumba di bidang pertanian. Sayangnya, mimpi tersebut dirampas dengan paksa saat dirinya diculik untuk dikawinkan dengan Leba Ali, laki-laki paruh baya mata keranjang yang sudah mengincar Magi sejak ia masih SD.

Sebenarnya, tradisi ini kerap kali dilakukan untuk memudahkan negosiasi perkawinan antar dua belah pihak yang sudah sama-sama bersepakat, tapi nyatanya masih banyak oknum yang mengatasnamakan adat tersebut untuk kepentingan pribadinya seperti Leba Ali. Magi tak bisa melakukan apapun karena bahkan keluarganya sendiri menerima lamaran tersebut. Berusaha mengakali kematian pun tidak mengakhiri kekeraskepalaan Ama Bobo, ayah Magi, untuk tetap menikahi putrinya dengan Leba Ali. Dengan bantuan sahabatnya Dangu Tonga, Magi pun berusaha melawan tanpa kenal kata menyerah.

Buku ini berhasil membuat saya marah, sedih, dan juga takut akan nasib yang bakal menimpa Magi sepanjang cerita. Saya bersyukur banget karena Magi gak hanya diam dan malah melawan dengan caranya sendiri. Keberanian Magi betul-betul mengagumkan dan kegigihannya sangat menginspirasi. Walaupun sejujurnya saya marah karena bahkan orang-orang terdekat Magi lebih mementingkan adat daripada Magi sendiri, saya juga paham kalau hingga saat ini masih banyak orang yang sangat menjunjung tinggi tradisi dari nenek moyang dan menganggap hal tersebut wajib hukumnya untuk dilestarikan.

Menurut saya, untuk itulah buku ini lahir sebagai pengingat. Dian Purnomo membuka mata setiap pembaca kalau ternyata penting bagi setiap orang untuk mengevaluasi apakah suatu tradisi masih relevan untuk dilestarikan atau tidak. Gaya penulisannya sangat mengalir, dan dengan menyisipkan dialek khas Sumba di setiap percakapan antar tokoh, saya terhanyut dalam kisah pilu Magi dan perlawanannya yang tampak tiada akhir.

Saya lega banget saat Magi memutuskan untuk menerima bantuan dari Gema Perempuan. Peran mereka yang cukup signifikan bisa dibilang menguatkan Magi saat ia gak memiliki siapa-siapa, dan menurut saya penting bagi setiap orang untuk selalu ingat kalau menerima pertolongan tidak sama artinya dengan menunjukkan kelemahan. Di buku ini kita bisa melihat dengan cukup jelas perkembangan Magi yang semakin hari semakin kuat dan berani. Konflik yang disuguhkan di akhir cerita pun memiliki penyelesaian yang menurut saya sangat pintar dan memuaskan, meskipun gak ayal, saya masih tetap merasa sedih untuk Magi.


Saya sadar cerita Magi ini mungkin hanya satu dari sekian banyak contoh kisah ketidakadilan yang masih sering terjadi di masyarakat sekarang ini. Sebagian mungkin mendapat titik cerahnya tapi sebagian lagi mungkin tak terceritakan. Mari berharap semoga ke depannya gak ada lagi perempuan-perempuan lain yang harus menjalankan nasib serupa. Last but not least, saya ingin berterima kasih kepada penulis untuk karyanya yang membuka mata, dan juga kepada penerbit untuk kesempatan yang diberikan kepada saya untuk membaca dan mengulas buku ini.

Actual rating: 5